YOGYAKARTA – Salah satu warisan terpenting dari reformasi adalah
diharapkan mampu terbangunnya sistem hukum yang demokratis, aspiratif, dan
transparan. Sehingga, Indonesia sekarang sering disebut sebagai negara yang
masuk dalam sistem politik demokratis. Dalam dinamikanya, sistem politik
tersebut mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Bahkan dengan konsep
demokrasi, masyarakat kini bisa terlibat secara langsung dalam
perpolitikan. Akan tetapi sering kali diantara kita lupa akan substansi
dari demokrasi tersebut, sehingga dalam pensikapannya, baik itu yang
dilakukan oleh masyarakat dan pembuat undang-undang (legislator) sering
mengabaikan norma-norma hukum. “Akibatnya dalam perjalanannya demokrasi
belum sampai pada demokrasi yang substansial, masih dalam tarap demokrasi
prosedural”.
Demikian disampaikan oleh Wakil Rektor I Universitas Islam Indonesia (WR I
– UII), Nandang Sutrisno, SH., M.Hum., Ph.D, dalam sambutanya pada seminar
Nasional yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII
(PSHK-FH UII), pada Sabtu (4/2), di Saphier Hotel, Jl. Laksda Adi Sucipto,
Yogyakarta.
Nandang Sutrisno, SH., M.Hum., Ph.D. lebih lanjut menyampaikan, salah satu
sisi yang perlu disoroti atas hasil reformasi adalah dalam proses legislasi
daerah, hal itu mengingat hingga kini masih banyak peraturan daerah daerah
(perda) yang bertentangan dengan peraturan diatasnya, seperti konstitusi.
“Ada sekitar 351 perda yang dinilai bermasalah dan bertentangan dengan
kepentingan masyarakat, dengan adanya jumlah tersebut, hal itu menjadi
fakta bahwa proses legislasi yang demokratis belum dijalankan dengan
sempurna. Tambahnya. Ia menilai, persoalan hasil legislasi yang kurang baik
salah satu penyebabnya karena minimnya partisipasi masyarakat yang
dilibatkan secara langsung dalam pembangunan legislasi secara nyata.
Sejauh ini hanya mengakomodir kelompok-kelompok tertentu, dan mengabaikan
pendukung pasif mayoritas (silent mayoritiy).
Seminar yang mengambil tema Membangun Legislasi Daerah Berbasis
Partisipasi Dan Transparansi terselenggara berkat kerjasama PSHK FH UII
dengan Hans Seidel Foundation Indonesia yang berkantor di Jakarta. Dalam
seminar tersebut, juga menghadirkan ketua Mahkamah Konstitusi RI yang
didaulat sebagai Keynote Speech. Dalam uraiannya ia menyampaikan bahwa
secara substantif, persoalan yang terjadi dalam hasil produk legislasi yang
kemudian sering dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi bisa dimungkinkan
karena adanya permaianan politik dan ketidak tahuan pembuat UU terhadap
tehnik pembuatannya. Hal itu setidaknya ditandai dengan banyaknya produk
legislasi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan pengujian.
‘Belajar dari pengujian undang-undang yang ada di Mahkamah Konstitusi,
yang kemudian dilakukan pembatalan terhadap sekitar 103 Undang-undang,
apabila diklasifikasi penyebabnya ada tiga. Pertama, Undang-undang dibuat
didasarkan hanya untuk tukar menukar kepentingan, yaitu untuk saling
mendukung kepentingan satu dengan lainnya. Kedua, ketidak profesionalan
legsilator atau tidak mengertinya pembuat undang-undang terhadap ilmu
perundang-undangan. Sehingga dalam pembuatannya asal-asalan. Ketiga, jual
beli pasal. Ketiga aspek inilah, maka suatu produk legislasi yang berupa
Undang-undang harus batal atau dibatalkan’. Ungkap guru besar FH UII
tersebut.
Selain itu, pakar politik hukum tersebut juga menyampaikan, guna
menyempurnakan produk legislasi. Maka dalam pembuatannya, ia menyarankan
untuk memakai teori dari Robert Seidmann dan Ann Seidmann yang dinamakan
ROCCIPI. Yaitu, Rule (aturan), sebelum memebuat aturan yang baru, maka
legisislator harus memperhatikan aturan yang lain, apakah sudah ada yang
mengaturnya atau belum. Sehingga, hal itu bisa meminimalisir duplikasi
aturan. Opportunity (peluang untuk diimplementasikannya suatu Undang-undang
kepada masyarakat), communication (komunikasi) capacity (kemampuan),
interest (kepentintgan).
“Permainan politik antar kepentingan harus dipertimbangkan. Procedure
(tatacara), dan Ideology, dalam konteks ideologi memang tidak membikin
rusak suatu undang-undang, tetapi akan membuat persoalan berlarut-larut,
oleh karenanya hal itu perlu diperhatikan. Dalam konteks pembuatan perda,
teori tersebut juga relevan untuk digunakan,” tambah Prof. Mahfud.
Seminar yang mengundang instansi pemerintahan di DIY baik eksekutif maupun
legislatif, tersebut juga menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi
dan praktisi. Diantaranya, Dr. Ni’matul Huda, SH.,M.Hum, (Direktur
Penelitian dan Pengenmabang PSHK FH UII), Dr. Saifudin, SH.,M.Hum, (DOsen
FH UII), Yulianto, SE.,MM (Walikota Salatiga), dan Yoeke Indra L, SE (Ketua
DPRD Provinsi DIY).