YOGYAKARTA – Reformasi konstitusi yang ditandai dengan perubahan konstitusi hingga empat kali telah menghasilkan format ketatanegaraan yang jauh berbeda dengan rezim kekuasaan sebelumnya, terutama dengan munculnya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY). Meski demikian, tampaknya konstitusi yang ada sekarang ini masih jauh dari kesempurnaan terlebih jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, seperti Jerman dan Amerika Serikat.

Dalam rangka ikut andil menyempurnakan konstitusi tersebut, Fakultas Hukum (FH) UII mengadakan International Workshop On Constitutional Reform And It’s Influence On Civic Education pada Sabtu (12/11) di Hotel Saphir Yogyakarta. Acara ini dibuka secara langsung oleh Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M. Ec dan dihadiri oleh berbagai akademisi seluruh Indonesia.

Dalam sambutannya, Rektor UII sangat mengapresiasi kegiatan ini sebagai kegiatan ilmiah yang patut untuk dilaksanakan secara rutin. Selain itu, Prof. Edy juga memberikan catatan terhadap perjalanan demokrasi Indonesia, “Setelah bergulirnya reformasi, indeks demokrasi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan hanya saja dalam aspek good governance (tata kelola pemerintahan) mengalami penurunan, seperti stabilitas politik, penegakan hukum, kontrol terhadap korupsi, dan praktek pemerintahan yang masih berjalan kurang efektif”.

Workshop yang juga membahas terkait civic eduation (pendidikan kewarganegaraan) tersebut terselenggara atas dukungan penuh Hans Seidel Foundation Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. “Pendidikan kewarganegaraan sejauh ini mengalami penurunan dalam implementasinya, dan secara substansi juga belum memberikan pengaruh positif terhadap perilaku warga negara Indonesia. Oleh karenanya, melalui workshop ini diharapkan dapat memberikan pencerahan akan pentingnya pendidikan kewraganegaraan untuk dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”imbuh Prof Edy.

Acara ini dimoderatori oleh Agus Triyanta, Ph.D (Dosen FH UII) dengan pembicara Prof. Dr. Sulaiman Duffort (Chicago University), Prof. Dr. (HC) Sigfreid Bross (Mantan Hakim Konstitusi Jerman), dan Masnur Marzuki SH. L.LM (Indonesia, Dosen FH UII). Sementara Keynote Speech disampaikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. H. Akil Mochtar, SH. MH.

Constitutional Reform And It’s Influence On Civic Education
Dr. H. Akil Mochtar, SH. MH. menegaskan, munculnya lembaga – lembaga negara baru pasca perubahan UUD 1945 merupakan upaya pemisahan kekuasaan (separation of power) guna menghindari penumpukan kekuasaan pada satu poros. “Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)”ungkapnya.
Namun demikian, tandasnya, pemisahan kekuasaan ini harus diimbangi dengan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi antar cabang-cabang kekuasaan negara (checks and balances) tersebut.

Prof. Bross yang berkiblat pada negara – negara internasional, menambahkan bahwa reformasi konstitusi di Indonesia harus tetap memprioritaskan hak-hak dasar warga negara seperti yang diterapkan di negara-negara maju.

Sementara dalam konteks pendidikan kewarganegaraan, menurut Prof. Bross, harus mampu mengakomodir seluruh nilai pendidikan yang telah berkembang di dalam masyarakat majemuk sehingga nantinya diharapkan dapat meminimalisir konflik  horizontal.

Prof. Sulaiman Duffort, selaku akademisi salah satu perguruan tinggi terkemuka di USA, menguraikan analisisnya terhadap potret demokrasi Indonesia. Meski UUD 1945 telah mengalami amandemen, menurutnya, masih saja meninggalkan persoalan yang cukup mendasar. “Pola hubungan antar lembaga negara kurang harmonis, aspek penyelenggaraan negara masih mencerminkan budaya hukum yang kurang bersih. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya pungutan-pungutan illegal di berbagai aspek”sebutnya.
“Ke depan, apabila akan kembali dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, jangan sampai menghilangkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang telah ada di Indonesia”sarannya senada dengan Prof. Bross.

Sementara Masnur Marzuki mengungkapkan bahwa pendidikan kewarganegaraan selama orde baru hanya dijadikan sebagai bentuk formalisasi dan ‘agenda tersembunyi’ untuk mengontrol penguasa.

Terkait reformasi konstitusi, Masnur berharap, ke depan konstitusi Indonesia harus lebih memperhatikan tiga aspek, yaitu hak warga negara, hak politik warga negara, dan kesejahteraan sosial. “Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam proses amandemen menjadi penting sebagai wujud demokrasi yang baik”pungkasnya.

Workshop yang juga dihadiri oleh Dekan dan wakil dekan FH UII tersebut mendapat apresiasi dari audience. Hal ini tampak dalam sesi tanya jawab peserta yang begitu antusias sehingga ada feedback antara pembicara dan peserta. Adanya workshop ini juga merupakan bentuk tanggung jawab UII dalam perannya mencerdaskan kehidupan bangsa.

sumber : http://www.uii.ac.id